NEGARANISASI DESA DALAM PROGRAM STUNTING DAN BANTUAN LANGSUNG TUNAI DANA DESA

Desa merupakan lembaga yang menghimpun masyarakat hukum dan berdiri sendiri serta memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat itu sendiri. Hal ini definisi yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa dimana yang dimaksud desa atau sebutan lainya adalah kesatuan masyarakat hukum yang memiliki batas wilayah yang berwenang untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan, kepentingan masyarakat setempat berdasarkan prakarsa masyarakat, hak asal usul, dan/atau hak tradisional yang diakui dan dihormati dalam sistem pemerintahan Negara Kesatuan Republik Indonesia (Pasal 1 ayat 1).

Namun sejalan perjalanan UU Desa, Pemerintah telah membuat berbagai kebijakan yang membuat pemerintah desa kesulitan untuk melaksanakan urusan yang menjadi usul masyarakat. Hal demikian terjadi karena Pemerintah melalui Kementrian dan Lembaga telah membuat berbagai program yang dititipkan ke desa. Salahsatu program tersebut adalah penanganan Stunting dan juga pemberian Bantuan Langsung Tunai yang bersumber dari Dana Desa atau yang lebih dikenal dengan sebutan BLT DD.

Guna mendapatkan gambaran dan respon masyarakat sebagai Penerima Manfaat dan juga Pamong sebagai pemangku kepentingan di desa, Tim Peneliti Program Magister Ilmu Pemerintahan yang dipimpin oleh Dr. Adji Suradji Muhammad dan beranggotakan Dr. Supardal dan Dr. Sugiyanto melakukan Focus Group Discussion pada hari Rabu 17 Juli 2024. FGD tersebut menindaklanjuti berbagai temuan yang didapat selama melakukan penelitian sehingga diharapkan diperoleh kesepahaman antara masyarakat penerima manfaat dengan pamong sebagai penanggungjawab jalanya roda pemerintahan di Kalurahan Ngargosari.

Dalam FGD yang berlangsung hangat tersebut ternyata diketahui bahwa ditengah-tengah masyarakat terjadi dinamika ketika program bantuan didistribusikan. Tidak sedikit masyarakat yang tidak menerima bantuan mengatakan “yang dapat itu-itu saja”, sedangkan diantara penerima manfaat program juga merasa “tidak nyaman” karena menjadi gunjingan tetangga dan warga sekitar. Dilema ini yang kemudian menyebabkan pemberian bantuan sosial seperti buah simalakama yang tidak menguntungkan bagi pemerintah desa dan juga masyarakat penerima program.

Bahkan Ketua Badan Permusyarawaratan Kalurahan Ngargosari berharap agar program bantuan sosial dapat dialihkan kepada program-program pemberdayaan sehingga berdampak jangka panjang kepada penguatan kapasitas masyarakat setempat. Dalam kesempatan tersebut Lurah Ngargosari juga memberikan penghargaan kepada tim karena telah memilih Ngargosari sebagai lokasi penelitian dan juga meminta agar apapun aspirasi yang berkembang dalam FGD dapat ditindaklanjuti sehingga kebijakan kedepan menjadi lebih baik. (ASM, 18/07/24)